Sabtu, 20 Agustus 2016

Seni dan Budaya Desa Buwit


Desa Buwit merupakan desa yang terletak di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan. Dahulu, desa ini tidak terlalu dikenal orang dan lebih sering disebut desa Kaba-Kaba (desa yang terletak di sebelah timur Desa Buwit). Namun, semenjak ada akses by pass Tanah Lot, desa ini menjadi lebih dikenal dan semakin maju. Saat masuk ke desa ini, yang terlihat adalah sawah yang terbentang luas di sepanjang jalan. Sebagian besar masyarakat di desa ini memang bekerja sebagai petani/menggarap sawah. Selain pemandangan yang terlihat asri dan menyejukkan, ada banyak keunikan yang terdapat di desa ini, baik dalam hal seni, tradisi, dan adat istiadatnya. Jadi, untuk lebih mengenal desa ini, mari kita bahas satu per satu.

Kesenian di desa Buwit 



Desa ini termasuk desa yang sarat akan kesenian. Hal ini terlihat dari banyaknya sekaa-sekaa seperti sekaa gong, sekaa angklung, sekaa joged, dan sekaa pesantian yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan upacara adat. Hampir setiap banjar adat di Desa Buwit memiliki gong dan beberapa lainnya memiliki angklung. Selain bertujuan untuk mengiringi upacara adat di desa, sekaa gong/angklung di desa ini memiliki tujuan komersil. Walaupun tidak ada jadwal latihan menabuh yang teratur, namun sekaa ini tetap aktif dalam berbagai kegiatan. Anak-anak juga didorong untuk berlatih menabuh dan sering diajarkan langsung oleh orang tuanya, sehingga seni menabuh di desa ini dapat terus diregenerasi.

Selain sekaa gong, ada beberapa sekaa pesantian di desa ini, di Banjar Dinas Delod Uma terdapat Sekaa Pesantian Tri Gita Manggala yang berdiri pada tahun 2002. Sekaa ini diketuai oleh IWayan Suarsa dan Sekaa Pesantian Sandi Semerti yang diketuai oleh I Nyoman Nerka. Di banjar Dinas Kelakahan terdapat Sekaa Pesantian Werdi Kumara Gita yang berdiri pada tahun 2002 yang diketuai oleh I Nengah Wardhi dan Sekaa Pesantian Eka Darma Prawerti yang diketuai oleh I Ketut Kaliana. Selain itu di desa ini juga terdapat beberapa seniman. Seperti seniman tari, seniman ukir, seniman geguntangan. Salah satu seniman yang dapat kami wawancarai adalah Bapak Ketut Kaliana atau yang akrab disapa Pak Eka. Beliau mengaku bahwa beliau memiliki ketertarikan yang besar terhadap seni tembang, walaupun bukan berasal dari keluarga seniman. Beliau mulai menekuni bidang seni, utamanya geguntangan (tembang guntang) semenjak berumah tangga dan belajar secara mandiri. Sudah banyak pengalaman yang beliau miliki sejak berkecimpung dalam seni tembang. Dimulai dari tahun 2004, beliau pernah menjuarai lomba santhi di radio global. Pada tahun 2006, beliau pernah mewakili desa Buwit dalam lomba tembang di tingkat kecamatan bersama Aji Erma dan menjadi juara 1 favorit di tingkat kecamatan. Beliau juga bergabung di Santhi Kirtanam Panca Datu serta menjadi pendiri sekaa santhi Dharma Santhi Suara di desa adat. Beliau jugalah yang membangkitkan arja Cupak Gerantang. Saat ini, beliau aktif melakukan siaran tembang guntang di Kompas TV yang tayang setiap hari minggu pada pukul 20.00 WITA bersama sanggar Kayon di Pejeng, Gianyar.

Bapak Eka Jaya memiliki seorang putri bernama Putu Ika Agustini, S.Sn yang menjadi pelatih tari di sanggar tari bernama sanggar Wangi Swari. Sanggar ini melatih anak-anak desa (terutama anak sekolah dasar) berbagai tarian Bali dan mempunyai jadwal latihan tetap, yaitu setiap hari minggu. Selain Pak Eka Jaya, mungkin masih banyak seniman-seniman lain yang belum sempat kami wawancarai.

Adat istiadat

Tradisi Ngaben

Tidak seperti desa pada umumnya, desa ini memiliki beberapa keunikan dalam hal adat istiadatnya. Salah satu diantaranya yaitu tradisi ngaben. Di desa ini terdapat dua setra yaitu setra desa adat buwit (setra Gede) dan setra Dalem Kelakahan. Keunikan di setra Gede yaitu tidak boleh meapi-api (menyalakan api), sehingga upacara ngaben di setra ini tidak boleh mempergunakan api (geni) melainkan hanya berupa simbolis (mayat tidak dibakar) (Ngasta Siwa Pertiwi). Makam di setra ini tidak menggunakan batu nisan, hanya mempergunakan penanda sederhana berupa bambu dan berisi sanggah Surya. Lain halnya di setra Dalem Kelakahan, upacara ngaben dilakukan dengan cara membakar jenazah seperti halnya ngaben di desa-desa lain.

Pura –Pura di Desa Buwit



Seperti di desa lainnya, di desa Buwit juga terdapat Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Dalem, Pura Desa, dan Pura Puseh. Uniknya, di desa ini terdapat dua Pura Dalem yaitu Pura Dalem Desa dan Pura Dalem Kelakahan. Selain itu terdapat Pura Semedangka (pura yang diusung oleh sebagian masyarakat saja), yaitu Pura Semadi (piodalannya jatuh pada hari Buda Kliwon Masalah), Pura Ratu Gede Anom (piodalannya jatuh pada Purnama Kapat), Pura Batan Bingin (piodalannya jatuh pada hari Buda Cemeng Ukir), Pura Agung (piodalannya jatuh pada Sukra Paing Pahang), Pura Pasek (piodalannya jatuh pada Buda Cemeng Merakih), Pura Penataran, Pura Merajapati, Pura Melanting, dan Pura Anyar. Ada kepercayaan bahwa orang yang menikah tidak boleh melintasi Pura Batan Bingin. Mitosnya, apabila mereka yang melangsungkan pernikahan melintasi Pura ini, maka kehidupan rumah tangganya tidak akan harmonis.

Di hari piodalan di Pura Dalem Desa yang jatuh pada hari Soma Manis Tolu, terdapat tradisi ‘ngunying’ (napak pertiwi) yang dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada purnama kapat. Pada saat upacara ngunying berlangsung, suasana mistis dan sakral sangat terasa ketika banyak orang (pemedek) yang mengalami kerasukan (kelinggian) Ida Bhatara sasuwunan di pura tersebut. Suasana terasa sangat mencekam saat orang-orang yang mengalami kerasukan berteriak dan menari-nari. Upacara ini berlangsung cukup lama, dan saat upacara usai, kondisi kembali tenang. Ini merupakan pengalaman pertama kami melihat tradisi seperti ini secara langsung.

Selain itu hal unik lain yang kami temukan adalah persembahyangan di Pura Desa dan di Pura Puseh, yang dilakukan menghadap ke arah Barat karena pelinggih di Pura Desa dan Pura Puseh menghadap ke timur. Hal ini sangat jarang ditemukan di tempat lainnya. Umumnya persembahyangan dilakukan menghadap ke timur atau ke utara. Tidak ada penjelasan mengenai hal ini, namun menurut Bendesa adat desa Buwit, dahulunya desa Buwit yang masih dikuasai oleh Raja Kaba-Kaba membuat aturan ini tanpa ada yang tahu apa alasannya.

Mitos-mitos


Desa ini menyimpan beberapa kisah yang unik dimana masyarakatnya memiliki kepercayaan secara turun-temurun dan diyakini kebenaranya. Salah satunya ada kepercayaan bahwa masyarakatnya tidak memelihara babi betina (bangkung). Masyarakatnya mempercayai bahwa secara niskala, di Pura Rare Angon terdapat pelinggih Ida Bhatara yang memiliki babi, kuda, dan lain sebagainya. Hari piodalan di pura ini yaitu pada hari tumpek kandang. Apabila masyarakat memelihara babi betina (bangkung) maka babi tersebut akan mati. Bahkan masyarakat desa ini yang mencoba memelihara babi betina (mengawinkan babi) di luar desa ini pun tetap tidak berhasil. Hal ini kemudian menjadi kepercayaan masyarakat desa bahwa meraka tidak bisa mengembangbiakkan babi baik di desa maupun di luar desanya. Jadi, jika masyarakat ingin memelihara babi, maka mereka dapat membeli bibit babi, tanpa mengembangbikan atau mengawinkannya.

Kepercayaan lainnya yang masih dianut oleh masyarakat adalah tidak boleh ‘nyuun’/mesesuwunan saat melintasi pelinggih yang terdapat di pinggir jalan di banjar Buwit. Akan tetapi mitos ini tidak banyak diperbincangkan.

Di samping itu, ada larangan mempergunakan ‘saput poleng’ saat melintas di sekitar pohon beringin. Beberapa masyarakat yang memiliki kemampuan khusus mengaku pernah mengalami kejadian mistis. Mereka seolah melihat ada sungai dan merendam kaki mereka. Mitos ini pun tidak terlalu banyak diungkapkan.

Selain beberapa hal di atas, sesungguhnya masih banyak cerita lainnya. Namun, tidak semua cerita-cerita tersebut dapat diperbincangkan oleh sembarangan orang dan kita sebagai kaum awam terutama mengenai hal-hal gaib, patut menghargai kesakralan setiap tradisi yang ada di desa ini. Dari berbagai hal yang kami amati, secara umum masyarakat di desa ini masih sangat menjunjung tinggi nilai seni budaya dan tradisi adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun. Seni asli di desa inipun masih terus dapat diwariskan yang terlihat dari masih bertahannya kesenian-kesenian dan tradisi yang sudah ada sejak dahulu dan masih terus dilestarikan hingga masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar